SAMARINDA, VIDETIMES.com – Praktik doxing atau penyebaran data pribadi tanpa izin kembali mengusik ketenangan publik di Samarinda. Founder platform media lokal Selasar.co, Achmad Ridwan, menjadi korban setelah data KTP miliknya disebar oleh akun anonim di media sosial. Insiden ini muncul usai Achmad mempublikasikan video monolog yang mengangkat isu perundungan digital terhadap konten kreator kritis seperti Kingtae.life.
Kasus ini mendapat perhatian serius dari Ketua Komisi I DPRD Kota Samarinda, Samri Shaputra. Ia menilai doxing sebagai bentuk nyata pembungkaman kebebasan berekspresi yang semakin mengkhawatirkan di ruang digital.
“Penyebaran data pribadi ini bukan hanya melanggar privasi, tapi juga bentuk intimidasi yang bisa membuat masyarakat takut menyampaikan kritik,” kata Samri saat ditemui di Gedung DPRD Samarinda, Kamis (15/5/2025).
Menurut Samri, kasus serupa bukanlah hal baru. Pola serangan balik selalu muncul setiap kali ada kritik terhadap kebijakan atau kinerja pemerintah, baik dari warga maupun anggota dewan.
“Begitu ada yang mengkritik, muncul narasi negatif, bahkan doxing. Ini bukan hal sepele, ini bahaya untuk demokrasi kita,” tegasnya.
Samri juga menyoroti bahwa peran DPRD kerap disalahpahami. Padahal, pengawasan dan kritik merupakan bagian dari tugas konstitusional DPRD dalam menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintahan.
“Ketika kami diam, masyarakat bilang DPRD tidak bekerja. Tapi ketika kami bicara dan memberi masukan, malah dianggap menyerang. Kritik seharusnya dilihat sebagai ruang perbaikan, bukan alasan untuk menyerang balik,” tambahnya.
Ia menegaskan, DPRD tidak hanya mengkritik, tetapi juga selalu menyertakan solusi. Namun, solusi tersebut sering kali tidak ditindaklanjuti oleh pihak eksekutif.
“Perbedaan pandangan itu wajar dalam demokrasi. Tapi jangan sampai jadi alasan untuk memusuhi. Saya sendiri mungkin tinggal tunggu giliran saja, karena sejauh ini data pribadi saya belum disebar,” ujarnya dengan senyum kecut.
Samri berharap aparat penegak hukum dapat menyelidiki kasus doxing dan memberikan perlindungan bagi warga yang menyuarakan pendapatnya secara sah dan konstitusional.
“Kalau dibiarkan, ini akan menciptakan budaya takut. Ruang publik jadi tidak sehat. Demokrasi kita bisa mundur,” pungkasnya. (Adv/DPRD Samarinda)









