SAMARINDA, VIDETIMES.com – Ketua Komisi III DPRD Kota Samarinda, Deni Hakim Anwar, mengkritik lemahnya pengawasan terhadap aktivitas tambang ilegal yang belakangan ini diduga telah merambah kawasan Kebun Raya Unmul, salah satu area konservasi penting di Kota Tepian.
Menurut Deni, dugaan pembabatan lahan di kawasan tersebut menjadi sinyal bahwa sistem pemantauan aktivitas pertambangan belum berjalan optimal. Ia menyebutkan bahwa sebagian besar kewenangan pengawasan berada di tangan pemerintah pusat, namun belum menunjukkan respon yang sigap.
“Kegiatan ilegal semacam ini menunjukkan bahwa baik pemerintah pusat maupun provinsi masih kurang tanggap dalam menjalankan pengawasan,” ujarnya, Rabu (9/4/2025).
Area yang menjadi sorotan merupakan bagian dari Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) yang luasnya sekitar 300 hektare dan seharusnya berfungsi sebagai hutan pendidikan. Namun, data awal menunjukkan sekitar 3,5 hektare lahan di area tersebut telah mengalami kerusakan akibat dugaan aktivitas tambang ilegal.
Hingga kini, Komisi III DPRD belum dapat melakukan inspeksi langsung ke titik lokasi, lantaran cuaca buruk dan minimnya informasi terkait titik pasti operasi tambang liar tersebut. Peninjauan sebelumnya hanya mencakup wilayah Palaran dan lokasi tambang milik PT Lana, yang diketahui berada jauh dari titik hutan konservasi.
Deni menjelaskan bahwa penanganan kasus ini berada di bawah kewenangan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum LHK) serta Inspektur Tambang. Ia mengimbau semua pihak untuk menunggu hasil investigasi resmi, sembari berharap ada transparansi dalam pengungkapan pelaku atau perusahaan yang bertanggung jawab.
Sejumlah instansi terkait, termasuk perwakilan pemerintah pusat, Pemprov Kaltim, serta Rektor Universitas Mulawarman, juga telah melakukan kunjungan langsung ke kawasan hutan yang terdampak.
Di sisi lain, politisi Partai Gerindra itu juga menyoroti kebijakan yang menempatkan seluruh kewenangan perizinan tambang di tingkat pusat. Menurutnya, hal ini membuat pemerintah daerah kehilangan kontrol, padahal dampak kerusakan lingkungan justru dirasakan langsung oleh masyarakat di daerah.
“Kami tidak meminta perizinan dikembalikan ke daerah. Tapi minimal, daerah dilibatkan dalam proses pengawasan, supaya ada tanggung jawab bersama. Jangan sampai pusat yang mengeluarkan izin, daerah yang menanggung kerusakan,” tegasnya.
Deni berharap ke depan akan ada koordinasi yang lebih baik antara pusat, provinsi, dan pemerintah daerah dalam mengelola sektor pertambangan, agar keberlangsungan lingkungan tetap terjaga meski daerah bergantung pada hasil tambang. (Adv/DPRD Samarinda)