SAMARINDA, VIDETIMES.com – Program Sekolah Rakyat (SR) yang dicanangkan pemerintah pusat dan akan dibangun di 65 titik se-Indonesia mendapat sorotan tajam dari DPRD Kota Samarinda. Anggota Komisi IV DPRD Samarinda, Anhar, menyebut program ini berpotensi memberi label kemiskinan pada daerah yang ditetapkan sebagai lokasi, termasuk Samarinda.
“Ini kontradiktif. Kriteria masuknya justru berdasarkan ketidakmampuan ekonomi. Seolah-olah daerah ini masih terjerat kemiskinan ekstrem,” ujar Anhar saat ditemui di Gedung DPRD Samarinda (17/6/2025).
Menurut Anhar, alih-alih menjadi solusi penguatan pendidikan, keberadaan SR justru mempertegas ketimpangan sosial. Ia menilai penetapan lokasi SR secara tidak langsung menunjukkan bahwa wilayah tersebut belum terbebas dari kemiskinan ekstrem.
“Kalau suatu daerah ditetapkan jadi lokasi Sekolah Rakyat, itu bukan prestasi. Itu alarm. Pemerintah pusat seolah mengakui bahwa pendidikan di sini belum merata,” tegasnya.
Politikus PDI Perjuangan ini membandingkan kebijakan SR dengan program pendidikan gratis tanpa diskriminasi di Kalimantan Timur, yakni GratisPol, yang digagas Pemerintah Provinsi Kaltim.
“GratisPol tidak membeda-bedakan siswa. Siapa pun bisa sekolah gratis, tanpa label ekonomi. Ini jauh lebih adil dan tidak membebani siswa dengan stigma,” katanya.
Lebih jauh, Anhar mempertanyakan efektivitas anggaran pembangunan fisik SR. Ia menyarankan agar dana ratusan miliar yang digelontorkan pemerintah pusat sebaiknya dialihkan menjadi beasiswa langsung kepada siswa dari keluarga prasejahtera.
“Kalau dikasih beasiswa langsung, dana bisa diterima utuh oleh siswa. Tidak rawan penyimpangan seperti proyek-proyek fisik yang biasanya penuh celah korupsi,” ujarnya.
Ia menegaskan, pengawasan terhadap dana beasiswa relatif lebih mudah dan transparan. Sebaliknya, proyek fisik seperti pembangunan gedung sekolah lebih berisiko dari sisi pengelolaan anggaran.
“Kalau beasiswa Rp25 juta, ya itu yang diterima siswa. Tapi kalau bangun sekolah, biayanya bisa dimark-up, banyak potongan sana-sini. Sudah banyak contohnya,” tegas Anhar.
Ia juga menyoroti narasi bantuan dari pusat yang kerap dijadikan komoditas politik. Padahal, menurutnya, keberadaan SR justru mencerminkan belum meratanya akses pendidikan berkualitas di daerah.
“Ini bukan saatnya klaim-klaiman. Kita harus jujur bahwa sekolah seperti ini muncul karena sistem kita masih belum menyeluruh menjangkau semua kalangan,” ucapnya.
Di akhir pernyataannya, Anhar mendesak pemerintah pusat untuk mengevaluasi arah kebijakan pendidikan. Ia menekankan bahwa pendidikan seharusnya menyatukan warga tanpa memandang status ekonomi.
“Pendidikan itu hak, bukan sedekah. Negara tidak boleh memperlakukan sekolah sebagai tempat amal. Semua anak harus punya kesempatan yang sama,” pungkasnya. (ADV/DPRD Samarinda)









