SAMARINDA, VIDETIMES.com – Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Kota Samarinda, Kamaruddin, menyoroti serius persoalan sanitasi buruk yang masih marak terjadi di ibu kota Kalimantan Timur. Salah satu temuan paling mencolok adalah masih banyaknya warga yang membangun instalasi septic tank tanpa standar nasional, yang berpotensi mencemari lingkungan dan air bersih.
“Di banyak wilayah, masyarakat masih membuat saluran pembuangan tanpa lapisan kedap air. Bahkan ada yang hanya pakai siring terbuka tanpa dasar semen,” ujar Kamaruddin dalam rapat pembahasan Raperda Pengelolaan Air Limbah Domestik di DPRD Samarinda, Rabu (25/6/2025).
Kondisi ini, lanjutnya, sangat berisiko karena air limbah rumah tangga bisa langsung meresap ke tanah dan mencemari sumur-sumur warga yang berada di dekatnya. Ia menyebut kasus seperti ini umum terjadi di kawasan padat penduduk, terutama di perumahan yang dibangun tanpa pendampingan teknis dari pemerintah atau pengembang profesional.
“Kita temukan septic tank warga yang dibangun persis berdampingan dengan sumur air bersih. Masyarakat sering kali tidak sadar akan bahayanya,” kata legislator dari Komisi I itu.
Kamaruddin menegaskan, penanganan sanitasi tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada warga. Ia mendesak agar Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) lebih aktif memberi edukasi teknis dan melakukan monitoring di lapangan.
“Pemerintah tidak bisa hanya duduk di belakang meja. Harus turun ke lapangan, bantu masyarakat pahami standar yang benar,” tegasnya.
Ia juga mendorong adanya kebijakan afirmatif bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Menurutnya, pembangunan septic tank berstandar nasional membutuhkan biaya tinggi, yang tak semua warga mampu menanggung.
“Pemerintah daerah harus hadir lewat subsidi atau program stimulan. Ini menyangkut kesehatan publik,” jelasnya.
Lebih jauh, ia menyebut masalah ini menjadi lebih mengkhawatirkan karena masih ada warga yang membuang limbah langsung ke Sungai Mahakam—salah satu sumber air baku utama di Samarinda.
“Kalau air limbah terus-menerus mengalir ke sungai, sementara air sungai digunakan untuk kebutuhan harian, ini sama saja meracuni diri sendiri. Kita bicara soal kesehatan generasi,” ujarnya.
Kamaruddin berharap pembahasan Raperda tentang Pengelolaan Air Limbah Domestik bisa rampung sebelum 2 Juli 2025. Namun, ia mengingatkan bahwa tantangan sesungguhnya baru dimulai ketika perda itu disahkan.
“Regulasinya penting, tapi yang jauh lebih penting adalah pengawasan dan implementasinya di lapangan. Jangan sampai perda ini jadi sekadar dokumen,” tutupnya.









