OPINI, VIDETIMES.com – Pada negara demokratis hak untuk menyampaikan pendapat dimuka umum merupakan pilar fundamental yang tidak dapat ditawar Jurgen Habermas dalam konsep public sphere menekankan bahwa ruang publik harus menjadi tempat masyarakat dapat mengartikulasikan kepentingannya tanpa tekanan atau represi dari negara. Namun, realitas di lapangan sering kali berkata lain.
Peristiwa represifitas aparat dalam pengamanan massa aksi di Muara Badak, yang menuntut pertanggungjawaban Pertamina Hulu Sungai atas pencemaran limbah yang mengancam mata pencaharian nelayan, mencerminkan krisis legitimasi negara dalam melindungi kepentingan rakyat. Bukannya menjadi penengah yang adil, aparat justru tampil sebagai perpanjangan tangan korporasi, menggunakan kekerasan dan intimidasi untuk membungkam suara rakyat yang memperjuangkan hak mereka. Cui bono Siapa yang diuntungkan dari situasi ini?
Represifitas Aparat cerminan peran negara dalam distorsi demokrasi, Menurut Max Weber negara modern memiliki monopoli atas kekerasan yang sah monopoly of legitimate violence. Namun kekerasan ini hanya dapat dibenarkan ketika digunakan untuk melindungi kepentingan umum, bukan justru untuk membela kepentingan kapital besar yang merugikan masyarakat Ketika aparat keamanan lebih memilih untuk menekan massa aksi dengan kekerasan daripada menindak perusahaan yang mencemari lingkungan, maka negara telah gagal menjalankan fungsinya sebagai pelindung rakyat.
Dalam konteks negara hukum (Rechtsstaat), tindakan represif terhadap demonstrasi damai adalah bentuk penyimpangan konstitusional. Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Jika negara menggunakan aparatnya untuk membungkam hak ini dan membubarkan massa aksi yang ingin menunggu berdialog dengan pihak yang merugikan mereka mengunakan kekerasan represif, maka kita tidak sedang berbicara tentang demokrasi yang sehat, melainkan tentang autoritarianisme terselubung “covert authoritarianism”, Fiat justitia ruat caelum keadilan harus ditegakkan, meskipun langit runtuh.
Ekologi Terkorbankan, Ekonomi Rakyat Hancur begitulah wajah dari kasus ini Muara Badak dikenal sebagai wilayah pesisir yang bergantung pada perikanan tradisional. Limbah yang dihasilkan oleh Pertamina Hulu Sungai tidak hanya mencemari ekosistem laut, tetapi juga menghancurkan mata pencaharian nelayan yang menggantungkan hidupnya pada laut, Murray Bookchin dalam teori ekologi sosial, menegaskan bahwa eksploitasi lingkungan yang dilakukan oleh korporasi besar adalah bentuk hierarki kekuasaan yang menindas masyarakat lokal. Ketika sumber daya alam dikontrol oleh segelintir elite dengan mengorbankan kehidupan rakyat, maka negara telah kehilangan etos keadilannya.
Pencemaran ini seharusnya menjadi isu yang ditangani secara serius oleh negara. Namun, alih alih menindak perusahaan yang merusak lingkungan, negara justru lebih cepat mengerahkan aparat untuk membungkam mereka yang berani melawan. Inilah ironi besar dalam kapitalisme negara “state capitalism” di mana pemerintah lebih sering bertindak sebagai pelindung modal daripada penjaga kesejahteraan rakyatnya. Res publica non dominetur avaritia artinya urusan publik tidak boleh dikuasai oleh keserakahan.
Kapitalisme Negara berlebih dan Hilangnya Kepentingan Publik menurut Antonio Gramsci, negara bukan sekadar alat represi, tetapi juga hegemonik, di mana penguasa menggunakan berbagai instrumen, termasuk hukum dan aparat keamanan, untuk mempertahankan status quo, dalam kasus ini, hegemonisasi ekonomi terjadi ketika kebijakan negara lebih berpihak pada korporasi besar dibanding kepentingan nelayan dan lingkungan hidup. Pemerintah sering berdalih bahwa investasi energi adalah prioritas nasional, tetapi mengabaikan dampak sosial dan ekologis yang ditimbulkannya.
Hal ini memperlihatkan bahwa negara telah tersandera oleh oligarki ekonomi, dimana keputusan keputusan besar tidak lagi dibuat berdasarkan keadilan sosial, melainkan berdasarkan kepentingan modal. Dalam bahasa Karl Marx, ini adalah bentuk eksploitasi struktural, di mana rakyat dipaksa menanggung dampak negatif dari industrialisasi yang tidak adil. Salus populi suprema lex esto keselamatan rakyat harus menjadi hukum tertinggi akankah hanya menjadi bualan negara semata.
Mengatasi permasalahan ini bukan hanya soal menyelesaikan konflik di Muara Badak, tetapi juga soal mengembalikan negara ke jalur demokrasi yang sebenarnya. Ada beberapa langkah yang dapat diambil:
1. Audit Lingkungan dan Pemulihan Ekosistem
Pemerintah harus melakukan audit lingkungan independen terhadap dampak limbah Pertamina Hulu Sungai dan memastikan pemulihan ekosistem yang terdampak bila perlu copot pimpinan yang lalai dalam hal ini.
2. Stimulan biaya hidup harian untuk mencover kerugian nelayan akibat dampak yang ditimbulkan dan melalukan Pemberian Kompensasi kepada Nelayan Nelayan yang terdampak harus mendapatkan kompensasi yang layak atas kerugian ekonomi yang mereka alami akibat pencemaran.
3. Menjamin Hak Demonstrasi Tanpa Intimidasi dan represifitas Aparat keamanan harus kembali kepada fungsi aslinya sebagai pelindung rakyat, bukan alat represi korporasi. Kekerasan terhadap massa aksi harus dihentikan dan pelaku pelanggaran HAM harus diproses hukum.
4. Mendorong Regulasi Ketat terhadap Korporasi Tambang dan Migas
Harus ada regulasi yang lebih ketat terkait pengelolaan limbah industri ekstraktif agar kasus serupa tidak terulang.
5. Reformasi Pola Hubungan antara Negara dan Korporasi Negara harus kembali ke fungsi konstitusionalnya sebagai pelindung rakyat, bukan sekadar fasilitator bagi kepentingan korporasi
Negara Demokrasi sepantasnya menjawab persoalan semacam ini dengan akal Sehat dan Tidak Boleh Takut pada Suara Rakyat karena pada konteks negara demokrasi rakyatlah sebagai aspek penting didalamnya, Represifitas aparat terhadap massa aksi di Muara Badak adalah cerminan dari demokrasi yang sedang sakit. Negara yang sehat tidak boleh takut pada suara rakyat, tetapi harus menjadikannya sebagai landasan dalam membuat kebijakan. Jika negara terus menerus tunduk pada kepentingan modal dan mengabaikan rakyatnya, maka kita tidak sedang bergerak menuju kemajuan, melainkan kemunduran dalam baju modernisasi.
Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi konstitusi dan nilai-nilai demokrasi, kita tidak boleh diam. Lex iniusta non est lex, hukum yang tidak adil bukanlah hukum. Sudah saatnya kita mendesak pemerintah untuk memberikan sanksi tegas kepada korporasi yang merugikan rakyat dan menekankan kepada pemerintah beserta instument aparat agar kembali berpihak kepada rakyat, karena pada akhirnya, legitimasi sejati sebuah pemerintahan bukanlah pada kekuatan represinya, tetapi pada sejauh mana ia dapat memastikan keadilan bagi seluruh warganya jangan sampai pemberontakan akibat kemarahan rakyat memuncak mengakibatkan pembangkangan sipil yang sudah muak tertindas oleh sistem pengelolahan kenegaraan yang bobrok dalam mengontrol dan memberikan sanksi tegas terhadap persoalan seperti ini mengakibatkan kerugian dan hilangnya mata pencaharian untuk hidup rakyat sehari hari.
Terakhir dari opini ini saya mengutip pesan john lock sosok pemikir dan pejuang Inggris yang dikenal sebagai bapak liberalisme dalam risalah kedua tentang pemerintahan (treatise of gevorment) dia berkata bahwa “Ketika para penguasa berusaha merampas hak rakyat atau memperbudak mereka dengan kekuasaan sewenang-wenang, mereka telah menyatakan perang terhadap rakyat, yang dengan demikian rakyat tidak lagi berkewajiban untuk patuh” John Locke, Second Treatise of Government 1689.
PENULIS: Wakil ketua KNPI Samarinda | Moh Abdul Majid
Opini Merupakan Tanggung Jawab Penulis, Tidak Menjadi Tanggung Jawab Redaksi VIDETIMES.COM