SAMARINDA, VIDETIMES.com – Meski telah menyandang predikat Kota Layak Anak (KLA), implementasi konsep tersebut di Samarinda dinilai masih jauh dari ideal. Wakil Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Sri Puji Astuti, menilai gelar tersebut belum sepenuhnya mencerminkan situasi nyata di lapangan.
“Jangan sampai KLA hanya jadi papan nama. Anak-anak tetap rentan, tetap menikah dini, dan tetap putus sekolah,” ujar Puji saat ditemui di Gedung DPRD (17/6/2024).
Ia menyoroti masih maraknya praktik pernikahan usia dini di Samarinda, yang kerap terjadi secara diam-diam dengan bantuan penghulu tidak resmi. Fenomena ini, menurutnya, menjadi salah satu bentuk nyata kegagalan sistem perlindungan anak.
“Penghulu liar ini jadi celah. Banyak anak-anak yang akhirnya dinikahkan karena dianggap sudah cukup bisa baca-tulis. Ini jelas merampas hak tumbuh kembang mereka,” kata politisi Partai Demokrat itu.
Pernikahan dini, menurut Puji, erat kaitannya dengan putus sekolah. Ia mempertanyakan bagaimana program wajib belajar 12 tahun bisa tercapai jika praktik-praktik semacam ini masih dibiarkan tanpa pengawasan dan penindakan.
Lebih jauh, Puji menyebut bahwa pencapaian KLA seharusnya bukan akhir, tapi awal dari kerja keras kolektif untuk menjadikan kota benar-benar ramah anak. Tanpa kesadaran masyarakat dan dukungan infrastruktur, menurutnya, program ini akan berhenti pada seremoni.
“Pemerintah memang punya program, tapi kalau masyarakat tidak dilibatkan, hasilnya tidak akan terasa. Anak tetap jadi korban,” ujarnya.
Ia juga menyoroti ketimpangan fasilitas publik ramah anak antarwilayah. Tidak semua kelurahan memiliki taman bermain, pojok baca, atau layanan konseling remaja—padahal, fasilitas semacam itu merupakan indikator penting dalam penilaian KLA.
“Jangan bangga dulu. Kalau di kampung-kampung masih banyak anak yang tidak sekolah, menikah dini, bahkan bekerja, itu berarti kita belum layak-layak amat,” kata Puji.
Menurutnya, membangun kota layak anak tidak bisa hanya diserahkan ke Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak saja. Semua dinas harus terlibat aktif—terutama Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, hingga aparat penegak hukum.
Puji juga mendesak tindakan tegas terhadap penghulu liar yang terbukti memfasilitasi pernikahan di bawah umur. “Kalau tidak ada efek jera, praktik ini akan terus berlangsung senyap. Dan anak-anak kita yang jadi korbannya,” ujarnya.
Meski demikian, Puji tetap mengapresiasi sejumlah langkah yang sudah dilakukan Pemerintah Kota Samarinda, seperti program Kartu Identitas Anak (KIA), internet sehat, dan penyediaan ruang ramah anak. Namun ia menekankan, langkah-langkah itu masih perlu diperluas agar menyentuh seluruh lapisan masyarakat.
“Perlindungan anak itu bukan hanya soal infrastruktur, tapi juga soal budaya, pola pikir, dan kepedulian kita semua. Pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha harus sama-sama bergerak,” pungkasnya. (ADV/DPRD Samarinda)









