OPINI, VIDETIMES.COM – Di tengah gemuruh kemajuan teknologi dan informasi, ketika dunia bergerak menuju kompleksitas yang tak terelakkan, kita menyaksikan fenomena yang mencolok dalam dunia pendidikan tinggi: kemerosotan tajam dalam kualitas pemikiran kritis mahasiswa. Pendidikan, yang seharusnya menjadi ruang bagi pembentukan intelektualitas dan karakter, justru kerap kali terperangkap dalam rutinitas mekanis dan pragmatis. Di bawah bayang-bayang tujuan instan, mahasiswa terbuai oleh ilusi pencapaian tanpa perjuangan intelektual yang sejati. Dalam pusaran ini, praktik penggunaan jasa joki akademik—untuk menghindari proses pemikiran yang mendalam—menjadi simbol paling nyata dari kemunduran budaya berpikir yang seharusnya menjadi jantung pendidikan tinggi.
Fenomena ini bukan hanya sekadar masalah etika atau kebijakan akademik, tetapi lebih jauh, sebuah cerminan dari krisis mendalam dalam penghayatan makna pendidikan itu sendiri. Ketika mahasiswa, yang seharusnya menjadi agen perubahan, lebih memilih jalan pintas untuk mendapatkan gelar atau nilai tanpa memperhitungkan esensi dari pembelajaran itu, kita menghadapi sebuah paradoks besar: sebuah sistem yang memproduksi lulusan, namun gagal menumbuhkan kapasitas untuk berpikir dan bertindak dengan kebijaksanaan yang matang. Dalam ranah ini, dunia pendidikan seolah kehilangan arah, terombang-ambing dalam kegemerlapan hasil instan yang menutup mata terhadap kualitas hakiki dari pemikiran kritis.
Sistem pendidikan tinggi, yang pada dasarnya dimaksudkan untuk memfasilitasi pengembangan intelektualitas dan pemikiran kritis, kini lebih sering terjebak dalam perputaran nilai dan sertifikat yang bersifat transaksional. Mahasiswa, yang seharusnya digembleng untuk mampu berpikir secara mandiri dan analitis, justru lebih tertarik pada pencapaian nilai cepat tanpa memedulikan kedalaman intelektual dari proses tersebut. Penggunaan jasa joki akademik dalam mengerjakan tugas, ujian, hingga skripsi, mencerminkan hilangnya rasa tanggung jawab intelektual yang seharusnya dimiliki oleh setiap mahasiswa. Praktik ini menunjukkan betapa rendahnya penghargaan terhadap proses pembelajaran yang seharusnya menjadi pusat dari kehidupan akademik.
Menurut Immanuel Kant, pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang mengembangkan kemampuan untuk berpikir secara bebas, kritis, dan mandiri. Namun, dalam kenyataannya, banyak mahasiswa yang terjebak dalam pola pikir pragmatis yang mengutamakan hasil instan dan mengabaikan kedalaman proses intelektual. Pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi tempat pembentukan karakter dan kapasitas berpikir kini beralih menjadi ajang untuk memperoleh gelar dengan cara yang lebih mudah dan cepat.
Fenomena ini juga berkaitan dengan teori dari Paulo Freire yang menyatakan bahwa pendidikan seharusnya menjadi proses dialektik yang membebaskan, bukan sekadar pemindahan pengetahuan dari guru kepada murid. Namun, dengan adanya praktik joki akademik, yang terjadi justru adalah pembelajaran yang terputus dari proses kritis dan reflektif, di mana mahasiswa hanya sekadar menjadi penerima informasi tanpa terlibat dalam pemikiran yang mendalam. Proses ini akhirnya menciptakan lulusan yang cenderung pasif, yang hanya mampu meniru dan mengulang, tanpa bisa berkontribusi secara substansial dalam menyelesaikan masalah yang lebih kompleks di masyarakat.
Lebih jauh lagi, penggunaan jasa joki juga menggambarkan lemahnya etika akademik. Praktik ini bukan hanya merusak kualitas pendidikan, tetapi juga menciptakan kesenjangan antara tujuan pendidikan dan hasil yang diinginkan. Mahasiswa yang lulus dengan cara seperti ini sebenarnya belum siap menghadapi tantangan dunia profesional yang membutuhkan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi yang berbasis pada analisis yang matang. Hal ini juga mengarah pada perpecahan yang lebih besar antara dunia akademik dan dunia nyata, di mana kompetensi yang sebenarnya—berpikir secara mendalam dan mandiri—terabaikan. Di sisi lain, fenomena ini turut mencerminkan ketidaksiapan sistem pendidikan dalam memberikan ruang untuk pengembangan kemampuan berpikir mahasiswa, yang seharusnya menjadi bagian integral dari setiap tahap pembelajaran.
Selain itu, praktik joki akademik seringkali dipicu oleh tekanan eksternal yang dihadapi mahasiswa, seperti tuntutan untuk lulus tepat waktu, persaingan ketat untuk memperoleh pekerjaan, atau bahkan harapan tinggi dari orang tua. Kondisi ini menciptakan ruang bagi mahasiswa untuk menganggap bahwa hasil akhir—kelulusan dengan nilai tinggi—lebih penting daripada proses yang ditempuh untuk mencapainya. Oleh karena itu, fenomena ini juga menjadi refleksi dari kegagalan sistem pendidikan dalam memfasilitasi pengelolaan tekanan yang dihadapi mahasiswa, dan kurangnya pemahaman mengenai pentingnya pengembangan proses intelektual daripada sekadar hasil akhir yang bersifat transaksional.
Fenomena maraknya penggunaan jasa joki dalam dunia pendidikan tinggi adalah bukti nyata dari kemerosotan budaya berpikir kritis dan hilangnya makna pendidikan itu sendiri. Ketika mahasiswa lebih memilih jalan pintas untuk meraih nilai dan kelulusan, mereka tidak hanya mengorbankan kualitas intelektual mereka, tetapi juga merusak fondasi etika akademik yang seharusnya menjadi pijakan utama dalam proses belajar-mengajar. Dalam konteks ini, pendidikan tinggi gagal menjalankan fungsinya sebagai tempat untuk mengasah kemampuan berpikir mandiri, analitis, dan kreatif.
Untuk mengatasi permasalahan ini, sudah saatnya untuk melakukan reformasi mendalam dalam sistem pendidikan, yang tidak hanya fokus pada nilai dan kelulusan, tetapi juga pada pengembangan kualitas berpikir mahasiswa. Perguruan tinggi harus kembali menekankan bahwa pendidikan adalah sebuah perjalanan intelektual yang memerlukan pemikiran mendalam, diskusi konstruktif, dan keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran. Pendidikan yang sesungguhnya adalah yang membebaskan mahasiswa dari ketergantungan pada hasil instan dan mengajarkan mereka untuk berpikir secara kritis, kreatif, dan bertanggung jawab, bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk masyarakat secara luas.
Penulis : Sebastian Geken
Opini Merupakan Tanggung Jawab Penulis, Tidak Menjadi Tanggung Jawab Redaksi VIDETIMES.COM