OPINI, VIDETIMES.com – Siapa yang dimaksudkan dengan mereka yang kalah di tanah yang merdeka itu ialah para Buruh, Petani, Nelayan, Masyarakat Adat, Perempuan, Dan Kaum Disabilitas. Mereka akan tetap menjadi The Underdog (Baca: Di Anjingkan) dalam demokrasi borjuis. Jelas siapa yang akan memupuk nikmat dari kemenangan pemimpin yang dipilih lewat demokrasi borjuis adalah kelompok minoritas (Baca: Oligarki) yang mengusai 60% kekayaan di Indonesia .
Pembangunan dengan label Proyek Strategi Nasional (PSN), seakan-akan menjadi alat legitimasi bagi para penguasa untuk menggusur masyarakat dari tanahnya. Rumah yang jerih payah diupayakan penduduk untuk berdiri tegap di atas tanah tempat tulang-belulang leluhurnya dibenamkan, tidak memiliki arti di mata para penguasa, semua dapat diakali dengan rupiah.
Hematnya, ada yang salah dalam cara berpikir penguasa di negeri ini. Mereka telah terinfeksi akut oleh ideologi pembangunanisme, mereka percaya bahwa kesejahteraan rakyat hanya dapat dinaikkan tarafnya melalui pembangunan-pembangunan gedung pencakar langit, pemberian ijin pada pihak swasta untuk mengeruk sumber daya alam yang ada di dalam bumi ibu pertiwi.
Mereka mengabaikan keselamatan hidup rakyat, dan mengabaikan segala ongkos sosial lingkungan yang timbul akibat kekurangan pengetahuan dan keserakahan. Tentu hal ini, akan berdampak jauh terhadap ketertiban dan keselamatan kehidupan orang banyak.
Juruh ampuh yang sering kali dipakai oleh pihak penguasa untuk mengusir paksa penduduk dari tanahnya adalah dengan cara “relokasi”. Apa sebenarnya motif dari relokasi itu ?
Pertama adalah relokasi dilakukan dengan motif ekonomi, penguasa kerap melakukan relokasi kepada penduduk atas dalih pembangunan, penguasa sebenarnya ingin mengeruk kekayaan sumber daya alam di atas tanah penduduk itu. Seiring dengan perginya penduduk dari tanahnya, maka penguasa lewat perpanjangan tangannya yaitu pihak swasta (Baca: perusahaan) akan lebih leluasa mengeksploitasi sumber daya alam yang terkandung di atas tanah rakyat.
Kedua adalah dilakukan dengan motif politik, penguasa dengan dalih ingin “memperadabkan” penduduknya yang dinilai tak mencerminkan kehidupan seperti layaknya manusia beradab lainnya. Mereka ingin menentukan identitas dari penduduknya yang dianggap terbelakang itu. Maka dari itu, tak jarang pelabelan-pelabelan seperti (anti pembangunan, terbelakang, dan primitif) kerap kali disematkan pada mereka-mereka yang menolak untuk tergusur dari tanah moyangnya.
Cara lain yang penguasa kerap lakukan untuk meyakinkan bahwa pembangunan itu baik bagi masyarakat adalah dengan memberikan slogan-slogan yang bersifat hegemonik seperti pembangunan hijau dan kota pintar. Kita tahu bahwa warna hijau adalah warna kehidupan dan biosfer, bukan warna uang yang ada di kepala penguasa , dan pintar menyiratkan bahwa seseorang itu berakal dan tidak sewenang-wenang memperlakukan masyarakatnya.
Merdeka artinya bukan sekedar lepas dari tangan Kolonialisme dan Imprelisme Portugis, Spanyol, Belanda dan Jepang. Tetapi lepas dari belenggu pemerintahan Feodal, Monarki, Tirani, Fasis Otoritarianisme, dan Totalirianisme. Merdeka yang fundamental dan hakiki adalah memberikan keleluasaan menyemai sistem demokrasi langsung, yang artinya memininalkan intervensi dari pihak penguasa dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan publik.
Kekuasaan yang dijalankan secara lalim, akan menuai berbagai intrik untuk merobohkannya hingga rata menjadi tanah. Mesin pancung Gilotin yang digunakan dalam Revolusi Perancis akan siap kembali menemukan tempatnya dalam dimensi lain untuk menebas hipokrisi dan para demagog.
Bunga mawar betapa pun dekat jaraknya dari hidung penguasa, ia tidak akan pernah tercium, karena hidung dari penguasa itu telah tersumbat oleh hasrat untuk berkuasa dengan cara tangan besi.
Penulis : Andreas Hului – Kader GMNI Kota Samarinda
Opini Merupakan Tanggung Jawab Penulis, Tidak Menjadi Tanggung Jawab Redaksi VIDETIMES.com