SAMARINDA, VIDETIMES.com – Rencana perguruan tinggi untuk terlibat dalam pengelolaan tambang menuai penolakan dari DPD Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kalimantan Timur. Mereka menilai kebijakan ini akan menggeser fokus utama universitas dari pengembangan ilmu pengetahuan menjadi institusi yang mengejar keuntungan ekonomi.
Sekretaris Bidang Jaringan Politik DPD GMNI Kaltim, Boni de Rosari, menilai bahwa keterlibatan kampus dalam industri tambang bertentangan dengan nilai-nilai akademik. Menurutnya, perguruan tinggi seharusnya menjadi pusat riset dan inovasi yang berkontribusi bagi masyarakat, bukan terlibat dalam eksploitasi sumber daya alam yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.
“Kampus adalah tempat mencetak pemikir kritis, bukan korporasi yang mengejar keuntungan dari sektor tambang. Jika universitas dibiarkan mengelola tambang, ini akan menciptakan konflik kepentingan yang membahayakan independensi akademik,” tegas Boni dalam pernyataannya, Jumat (31/1/2025).
Boni menegaskan bahwa wacana ini menyimpang dari esensi perguruan tinggi yang berfungsi sebagai institusi pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Ia mengingatkan bahwa kampus seharusnya menjadi garda terdepan dalam menolak eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan, bukan malah turut serta di dalamnya.
Lebih lanjut, ia menyoroti potensi penyalahgunaan wewenang jika kampus diberi izin mengelola tambang.
“Alih-alih menjadi pusat inovasi, kampus bisa berubah menjadi alat bagi kepentingan bisnis tertentu. Ini sangat berbahaya karena bisa mengikis integritas akademik dan menjadikan mahasiswa sebagai tenaga kerja murah bagi industri,” ujarnya.
Menurutnya, kebijakan ini juga berisiko memperlebar kesenjangan antarperguruan tinggi. Universitas yang memiliki akses ke sektor tambang bisa memperoleh keuntungan finansial besar, sementara kampus lain yang tidak memiliki sumber daya semacam itu akan tertinggal. Ketimpangan ini bisa semakin memperburuk sistem pendidikan tinggi di Indonesia.
Dari sisi lingkungan, Boni menekankan bahwa kampus seharusnya menjadi pelopor keberlanjutan, bukan justru ikut serta dalam industri yang sering dikritik karena merusak alam. Ia menyebutkan bahwa Indonesia masih menghadapi banyak persoalan akibat eksploitasi tambang yang tidak terkendali, seperti deforestasi dan pencemaran lingkungan.
Boni juga menyoroti dampak sosial dari kebijakan ini, terutama bagi masyarakat adat dan komunitas lokal yang sering terdampak langsung oleh aktivitas pertambangan.
“Sudah banyak kasus di mana masyarakat kehilangan tanahnya karena ekspansi tambang. Jika kampus ikut serta, apakah mereka akan lebih berpihak pada rakyat atau justru menjadi bagian dari masalah?” katanya.
Sebagai solusi, ia mendorong pemerintah dan perguruan tinggi untuk mencari sumber pendanaan alternatif yang lebih inovatif dan tidak bertentangan dengan nilai akademik serta keberlanjutan lingkungan.
“Ada banyak cara lain untuk meningkatkan pemasukan kampus, seperti riset berbasis inovasi, kerja sama dengan industri teknologi, atau pengembangan bisnis sosial. Tidak harus lewat tambang,” jelasnya.
Boni menegaskan bahwa GMNI Kaltim akan terus mengawal isu ini dan menolak keras segala bentuk komersialisasi pendidikan yang berpotensi merugikan mahasiswa, akademisi, serta masyarakat luas. Ia pun menyerukan agar seluruh elemen kampus, termasuk mahasiswa dan dosen, bersatu menolak kebijakan yang bisa merusak dunia pendidikan.
“Kami tidak akan tinggal diam. Kampus harus tetap menjadi pusat intelektual, bukan pemain di industri ekstraktif. Jika kebijakan ini terus dipaksakan, perlawanan akan semakin besar,” tutupnya. (Irf)