Suasana hening amat terasa dibawa terik yang menyengat. Suara di sudut-sudut rumah Elisabat padam seketika. Mau bagaimana? Tuntutan keluarga Elisabet seakan menyambar hati Pati dan keluarganya yang berkunjung ke rumah Elisabat. Dengan maksud bertanya perihal mahar elisabat, sang kekasih pujaan hati Pati.
” Ama Pati! Elisabat boleh kau nikahin, tapi dengan persyaratan satu tahu setelah menika, mahar Elisabat harus kau lunasi”. Kata ayah Elisabet sambil memukul meja.
Keluarga Pati seakan membisu, bagai katak kehilangan sambil berkata dalam hati ” mau bagaiamana lagi ini budaya kita”. Karena tuntutan yang begitu besar tak sebanding ekonominya, Pati terima persyaratan sambil tersenyum bertabur beban yang sangat teramat di dalam hatinya.
***
Dua bulan berlalu setelah keputusan keluarga Elisabat dan Pati perihal mahar. Pati dan Elisabet akhirnya telah menikah, sesuai persyaratan dengan satu tahun setelah pernikahan mahar Elisabat harus dilunasi.
Pagi itu, Suara kicauan burung dan desahan air persawahan menamba ademnya hati. Sayangnya tak sek adem hati Pati. Di bawah pondok persis di tenga hijaunya persawahan, Ia duduk sambil menyantap kopi buatan sang Istri, mengingat kembali perihal mahar sang istri yang masih membebaninya.
Melihat raut wajah Elisabet yang begitu tulus mencintainya, ia kini membuka suara sambil memperbaiki atap pondok di sawahnya.
” Ina Elisabat, hasil sawah kita tak seberapa. Setiap tahun tak luput juga dari hama sehingga hasil yang kita peroleh setiap tahun, hanya cukup untuk mengisi kebutuhan perut. Alangkah baiknya jika engkau merestui, biarkan aku pergi merantau ke tanah Saba untuk mencari rejeki. Agar masa depan anak kita Ama dan maharmu bisa ku lunasin”. Kata pati sambil menahan air mata di hadapan Elisabet yang sedang menyusui bua hati mereka.
” Tapi bagaimana Pati, anak kita masih kecil dan kita pun belum setahun menika. Apakah engkau tega meninggalkan kami seorang diri?”
“Tidak apa-apa Ina Elisabet, aku pergi karena cinta padamu dan anak kita Ama. Ini adalah keputusanku sebagai suamimu didasarkan pada tanggung jawabku kepadamu dan keluargamu “. Kata Pati sambil mengelus rambut anaknya Ama.
” Apakah Cintamu kepadaku dan Ama, harus dengan cara meninggalkan kami? Bukankah cinta itu adalah perihal hidup bersama dalam penderitaan atau sebaliknya”. Kata Elisabet sambil menjatuhkan air mata.
” Bagaimana aku tidak pergi merantau Elisabat? Sedangkan pintu rumah kita selalu diketuk keluargamu untuk maharmu?, apakah kamu yakin hasil sawah kita yang tak seberapa ini, mampu melunasi maharmu? Jika pun lunas aku jamin selama belum lunas, aku,kamu dan anak kita pasti mengisi perut dengan batu yang ada di persawahan ini. Sebab hasil sawah kita harus dijual untuk melunasi maharmu”Kata Pati sembari mencium kening sang istri.
***
Waktu tak bisa dihalang apalagi di dipalang. Sudah enam bulan pati tak ada kabar. Ditambah lagi Elisabet dan anaknya Ama tak parna menerima sepeser rupiah dari sang suami yang sudah enam bulan lamanya di tanah rantau. Enta kenapa dan kendala apa yang dihadapinya, Pati tak pernah memberi kabar. Hanya dua minggu awal kepergiannya ia sempat mengirimkan surat ke istirnya bahwa ia sudah sampai dengan selamat.
Elisabet menyimpan harapan besar agar suaminya baik- baik di rantau. Sambil berdoa memohon agar kelak nanti suaminya kembali dengan selamat.
Setiap pagi dan sore telinga Elisabat tak luput dari pertanyaan masyarakat setempat.
“Bagaiamana kabar pati”
” Apakah pati masih hidup”
Dan lebihnya, ayah Elisabet selalu bertanya dengan nada keras
” Tanyakan kepada suamimu! Kapan maharmu di lunasin, ataukah si Kampret itu sudah menikah lagi di tanah rantau”. Setiap harinya sejak kepergian Pati, ayah Elisabat selalu bertanya hal yang sama, tentang kapan maharnya di lunasin.
***
Waktu terus berputar, cuaca terus berganti, dan dedaunan terus bertumbuh, persis genap satu tahun pernikahan Pati dan Elisabet. Seperti biasa Pati masih belum ada kabar hingga sekarang. Namun satu hal yang beda Elisabet telah menikah lagi karena desakan sang ayahnya dan lebihnya kabar bahwa Pati telah meninggal. Mau bagaimana takdir tak bisa dihalang apalagi di palang. Elisabet kini hanya mengenang Pati lewat doa dan nyala lilin sembari memohon agar amal baik Pati di terima.
***
Enta di senja keberapa, di kampung Elisabat malam itu ketokan pintu rumah mertua Pati begitu nyaring.
“Selamat malam om”. Terdengar suara yang begitu asing di kediaman orang tua Elisabat. Ayah Elisabet membuka pintu dengan penasaran. Bagai kejutan yang tak biasa, seorang pria dengan jeket hitam dan topi memberikannya sebuah koper besar sembari berkata.
“Ini om! Aku penuhi sudah tuntutanmu. Mahar istriku yang kau tuntut dengan suara keras dan desakan yang mengharuskan, kini sudah ku penuhi. Ambilah sebab aku harus segera ke rumahku, pasti istri dan anakku sungguh merindukanku”.
Wajah ayah Elisabat merah padam. Diam terpaku bagaikan dipaku, tak mampu berbicara bagaikan para biksu sedang bermeditasi. Diam membisu sabil merinding seluruh badannya.
Melihat Maratua yang tak mampu berkata bagikan raga yang lepas dari rana, Pati kemudian bergegas menjumpai sang istri dan anak.
Malam itu Elisabet sedang menyuapi Anaknya Ama. Ketokan Pintu rumahnya begitu nyaring. Sama seperti ayahnya ia membuka pintu dengan penasaran. Perlahan ia membuka pintu. Ternyata Oh ternyata yang datang tidak lain yakni Pati dengan keunikan senyumannya.
“Selamat ma…” Sapa nya tak mampu ia lanjutkan, karena melihat perut Elisabat istrinya yang kini telah hamil empat bulan.
” Pati!” Merinding seluruh tubuh Elisabat
“Pati! apakah benar ini kamu? Apakah engkau sungguh masih hidup? Ataukah aku yang bermimpi.” Lanjut Elisabet sembari mencoba memeluk sang suami.
Sayangnya tak seindah dulu. Pati menolak tubuh Elisabat yang sedang hamil besar.
“Jangan mendekat. Sebab engkau bukan Elisabet yang dulu. Aku hanya menerima pelukan Elisabet yang dulu, yang berjanji di atas altar untuk hidup semati, dalam untung dan rugi. Sayangnya perjuanganku dibalas dengan pengkhianatan.” Kata Pati sambil mendorong Elisabet yang berlutut memohon ampun.
“Mengapa Engkau tak selembut dulu pati? Mengapa ayahku menipuku, bahwa engkau sudah meninggal? Aku dipaksa menikah lagi dengan modus yang dibuat ayah bahwa engkau telah meninggal. Mengapa engkau sejahat itu Pati, setiap hari aku dan anakmu hanya sekali sehari makan itu pun jauh dari kata kenyang. Mengapa kau tak pernah memberiku kabar Pati?. Mengapa Kau dan ayahku begitu jahat!”. Kata Elisabet sabil menangis dan berlutut mencium kaki pati.
” Ama maafkan saya, menunggu adalah pekerjaan yang paling berat. Namun aku tetap setia menunggumu. Sayangnya yang kudapatkan adalah berita kematian mu dari Ayahku dan desakan untuk menikah lagi”.
Pati tak lagi mampu berbicara melihat kondisi Elisabat istrinya sekarang yang telah hamil dengan suami keduanya. Ia kemudian tak mempedulikan ceritra Elisabat, tanpa kata maaf untuknya, lalu dengan tergesa-gesa menggendong putranya ama sambil berkata ” Ayah selalu ada untukmu nak! Ini bukan ibumu yang ku kenal”. Katanya sambil meneteskan air mata.
Selang tiga puluh menit perjumpaan pati bersama istri dan anaknya, terdengar tiga kali dentuman senjata di depan rumah Pati.
” Angkat tangan jangan bergerak” Kata salah satu polisi, dari lima polisi yang datang.
” Tangkap buronan itu!”
Mendengar perintah tegas itu, Pati membuka jendela untuk kabur. Melihat buronan hendak kabur salah satu polisi melepaskan tembakan mengarah ke jantung pati. Darah berhamburan di seluruh ruang tamu, satu nyawah melayang. Ruang tamu penuh darah. Peluruh yang dilepaskan untuk Pati dihalang oleh Elisabet, agar sang Suami tidak terkena peluru. Dada elisabet robek berlumuran darah. Dengan nafas terakhirnya ia berpamitan dengan senyuman wanita tulus yang sesungguhnya.
” Pati Maafkan aku karena telah menika lagi. Sesungguhnya kaulah cinta pertamaku ” Elisabet menghembuskan nafas terakhirnya di pelukan terakir Pati.
Pati menangis memeluk sang istri yang tak bernyawa. Sambil berkata
” Sayang peluruh untuk pengedar narkoba itu seharusnya saya terima. Maafkan aku sayang karena ulahku sebagai pengedar narkoba demi mahar, nyawamu yang ku korbankan.”
Elisabet meninggal dihadapan pati dan anaknya Ama. Pati kemudian di tangkap dan divonis hukuman penjara seumur hidup, dengan terbukti buronan selama satu tahun sebagai pengedar narkoba di tanah sabah untuk tuntutan mahar dari keluarga sang istri.
“Mau bagaiman ini tuntutan budaya kita” kataku sambil menyantap segelas kopi dan sebatang rokok gudang garam usai membuat tulisan tentang cinta Elisabet berakhir derita.
PENULIS : Randy Tukan, Mahasiswa STHI Awanglong Samarinda