SAMARINDA, VIDETIMES.com – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman (UNMUL) menegaskan sikap penolakannya terhadap wacana perguruan tinggi yang terlibat dalam pengelolaan pertambangan.
Kebijakan tersebut dinilai bertentangan dengan Tridarma perguruan tinggi dan berpotensi mengancam independensi akademik. Sikap ini disampaikan saat pertemuan di Kampus UNMUL, Selasa (28/1/2025).
Wacana tersebut tertuang dalam Pasal 51A Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Aturan ini membuka peluang bagi perguruan tinggi untuk mendapatkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral logam secara prioritas.
Presiddn BEM Fakultas Pertanian UNMUL, Gabriel, mengkritik kebijakan tersebut sebagai sebuah kontradiksi dalam arah pembangunan nasional. Menurutnya, pemerintah saat ini tengah mencanangkan swasembada pangan sebagai program strategis nasional, namun justru memberikan kesempatan bagi perguruan tinggi untuk mengelola tambang.
“Di satu sisi, pemerintah ingin memperkuat ketahanan pangan. Namun di sisi lain, kampus justru didorong untuk terlibat dalam bisnis pertambangan. Ini adalah kontradiksi yang sangat mencolok,” ujarnya.
Selain itu, Gabriel juga menyoroti potensi hilangnya independensi akademik akibat pendapatan dari sektor ekstraktif. Ia khawatir besarnya keuntungan yang diperoleh dari pertambangan dapat mempengaruhi kebijakan kampus dan menghambat kebebasan berpikir mahasiswa.
“Tambang bukan bisnis kecil. Pendapatan yang dihasilkan bisa jauh lebih besar dibanding dana operasional kampus. Jika pimpinan perguruan tinggi diberi kuasa untuk mengelola tambang, ada risiko besar mahasiswa kehilangan ruang berpikir kritis,” tambahnya.
BEM Faperta UNMUL menekankan bahwa perguruan tinggi, terutama UNMUL, seharusnya menjadi pusat inovasi akademik yang berkontribusi bagi pembangunan daerah dan nasional, khususnya di sektor pertanian. Gabriel menilai, fokus kampus seharusnya pada pengembangan teknologi berbasis riset untuk meningkatkan ketahanan pangan dan kesejahteraan petani.
“Kampus bisa menjadi pusat inovasi pertanian dengan mengembangkan teknologi berbasis riset. Ini tidak hanya memperkuat ketahanan pangan, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan petani lokal,” jelasnya.
Ia juga menyinggung rekam jejak industri pertambangan yang kerap menimbulkan dampak negatif, seperti kerusakan lingkungan dan konflik sosial. Menurutnya, di tengah tantangan perubahan iklim, perguruan tinggi seharusnya menjadi penggerak inovasi pertanian berkelanjutan, bukan malah terlibat dalam eksploitasi sumber daya alam.
“Ketika Indonesia menghadapi tantangan besar dalam perubahan iklim, perguruan tinggi seharusnya menjadi penggerak inovasi di sektor pertanian berkelanjutan, bukan aktor dalam eksploitasi sumber daya alam,” tegasnya.
Terakhir, Gabriel menyerukan kepada seluruh insan akademis dan masyarakat Kalimantan Timur untuk bersama-sama menolak wacana ini. Ia menegaskan bahwa UNMUL harus tetap menjadi benteng ilmu pengetahuan dan inovasi yang mendukung ketahanan pangan serta keberlanjutan lingkungan.
“UNMUL harus menjadi mitra masyarakat dalam membangun pertanian Indonesia yang berkelanjutan, bukan pelaku eksploitasi sumber daya. Mari kita jaga independensi akademik dan fokus pada solusi bagi masa depan pertanian,” pungkasnya. (*)