OPINI, VIDETIMES.com – Perihal keberlanjutan agaknya pemerintah rezim Prabowo juga punya jurusnya sendiri. Dalam upaya mewujudkan cita-cita bangsa melalui kesempatan yang berbahagia juga berbeda pada periode kepemimpinannya Prabowo menghadirkan kesan baru yang menjadi pembeda dengan rezim-rezim sebelumnya. Menyambut keputusan-keputusan heroik diawal kepemimpinannya, presiden Prabowo kembali menarik perhatian masyarakatnya tentang ancaman deforestasi yang dianggap menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pernyataan ini tentu menuai perdebatan yang melebar, lantaran sebagai orang nomor satu RI memiliki pemahaman yang berbeda terhadap gerakan yang hari ini semakin kuat yaitu isu lingkungan setelah berambisi kembali dengan mega proyek cetak sawah dibumi Marauke.
Perkebunan kelapa sawit menjadi trending isu nomor satu di Indonesia saat ini, sebagai produsen terbesar di dunia tentu menjadikan Indonesia pusat perhatian terutama dalam upaya mitigasi deforestasi untuk mencegah laju emisi karbon yang terus meningkat. Perihal deforestasi, Indoneisa saat ini merupakan pelaku utama penyedia emisi akibat upaya pembukaan lahan yang akhir-akhir ini semakin marak terjadi. Mirisnya konversi hutan semakin mengila semenjak putusan pemerintah Jokowi untuk menggadakan food estate sebagai Program Strategis Nasional (PSN) diikuti dengan terbitnya Peraturan Menteri LHK No. 24 tahun 2020 tentang penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate dan peraturan No. 7 tahun 2021 tentang perencanaan kehutanan, perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan serta penggunaan kawasan hutan.
Tetapi food estate adalah kegagalan besar, ambisi ini harus terhenti lantaran pelaksanaan yang berlangsung secara tergesa-gesa diawal perencanaannya. Tentu kegagalan ini disebabkan oleh pelaksanaan yang salah dan terkesan semrawut, secara historis upaya penyediaan pangan ini telah dirancang sejak zaman Orde Baru dan masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga berlangsung secara salah. Kenyataannya pada saat ini pemerintahan Prabowo juga menggunakan kartu yang sama yaitu food estate atau cetak sawah di Merauke namun dengan ambisi lebih besar yaitu swasembada pangan ditambah saat ini kembali prabowo mengeluarkan pernyataan krotroversial yang tentu kedepannya akan sangat berdampak pada keseimbangan lingkungan dunia.
Alih-alih perihal perang dagang yang terjadi antara Uni Eropa (EU) dan Indonesia terkait kualitas minyak nabati dan turunan produk yang boleh dihasilkan dari minyak kelapa sawit Indonesia. Permerintah melalui presiden Prabowo justru kembali melakukan keputusan keliru terhadap fenomena tersebut. Kembali membahas kasus food estate sebelumnya tentu tidak terlepas pada dampak gas rumah kaca (GRK) yang disebabkan oleh aktivitas pertanian salah satunya deforestasi. Publikasi FAO (Food and Agriculture Organization) 2023 menyebutkan bahwa perternakan dan budidaya padi merupakan sub-sektor utama penyumbang emisi GRK untuk pertanian global. Hasil ini menjadikan komuditas peternakan (daging, susu dan telur) dan beras sebagai penghasil emisi terbesar. Sistem pangan pertanian (agrifood) global menyumbang 16 Gt CO2 eq tahun 2021 ini mencakup emisi farm-gate oleh proses produksi pertanian dan peternakan, emisi land-use change oleh deforestasi dan pengeringan lahan organik untuk lahan pertanian/peternakan dan emisi yang dihasilkan pre-end post production atau sebelum proses produksi dan setelah proses produksi.
sejak lama konversi lahan untuk pertanian dalam perkembangannya terus menjadi ancaman serius pada keberlanjutan lingkungan. Pertanian berkelanjutan merupakan strategi unggul untuk meredam laju dampak pertanian dengan menjadikan pertanian sebagai upaya perbaikan kembali ekosistem dan peningkatan kualitas lingkungan hidup.
Namun pemerintah saat ini memiliki ambisi yang berbeda dalam penyediaannya, beberapa upaya yang dilakukan justru memperburuk keberlangsungan lingkungan yang berkelanjutan. Satu hal yang tidak bisa lepas dari prediksi adalah food estate sebagai kudung saji bagi para korporat untuk melunasi janji politik, dari berbagai keterlibatan mereka dalam perjalanan awal rancangan food estate di Indonesia.
Tudingan seriuspun mengarah pada perkebunan kelapa sawit yang akhir-akhir ini justru berpotensi hadir dan tubuh tegak diatas tanah persiapan food estate bahkan semakin kuat akibat penyelenggaraan yang berlangsung serampangan sejak pemerintahan masa Susilo Bambang Yudhoyono hingga era jokowi yang kini jelas gagal total dan hilang kabar.
Secara empiris perkebunan kelapa sawit memang merupakan solusi mitigasi perubahan iklim global akibat emisi karbon, oleh kemampuan carbon sink dan carbon saving kelapa sawit yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan alam. Pada studi ilmiah sawit mampu menyerap emisi 64 ton CO2/hektar/tahun dibandingkan hutan yang hanya mampu 32 ton CO2/hektar/tahun. Bahkan studi Chan pada 2002 menunjukan besar biomassa dan stok karbon hasil carbon sequestration pada sawit 5.8 ton/hektar pada tanaman belum menghasilkan dan 45.3 ton/hektar pada umur 20-24 tahun. Menunjukan Perkebuanan kelapa sawit bisa diartikan sebagai hutan produktif, mengingat hutan tropis dipenuhi oleh tumbuhan yang dewasa/tua sehingga laju fotosintesis telah mendekati laju respirasinya.
Berbicara soal keberlanjutan, RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) mencoba menjawab dengan sangat baik. perkebunan kelapa sawit haruslah berdampak berkelanjutan pada lingkungan, satwa liar dan hak asasi manusia. Secara kualitas dan kuantitas kelapa sawit jelas pada puncak kasta tertinggi minyak nabati, jika dibandingan dengan bunga matahari, rapeseed dan kedelai hasil panen per hektar jauh lebih rendah daripada sawit. Artinya butuh luasan yang besar untuk mencapai hasil setara dengan minyak kelapa sawit. Namun di beberapa daerah produksi minyak kelapa sawit berlangsung secara tidak bertanggung jawab dengan merusak hutan, yang berdampak pada satwa liar dan masyarakat sekitar.
Apabila wanaca perluasan lahan perkebunan kelapa sawit betul dilaksankan maka pemerintah harus bertanggung jawab pada keberlanjutan lingkungan yang rusak, satwa liar dan pelanggaran HAM yang akan terjadi selama penyelenggaraannya. Sebelumnya food estate juga bola panas pemerintah dalam upaya perlaksaannya, kegagalan besar food estate era Jokowi dibeberapa wilayah manjadi trust issue masyarakat, kepekaan terhadap wacana lumbung pangan itu menuai kecurigaan. Lalu kegagalan tersebut kembali disambut 2,29 juta hektar lahan strategi cetak sawah atau food estate dengan ambisi swasembada pangan dibumi Marauke, lantas bagaimana dengan lahan yang telah gagal. Dengan kualitas tanah yang kita ketahui bersama tidak mungkin mencapai keberhasilan tanaman pangan, sudah pasti akan berubah menjadi perkebunan kelapa sawit.
Namun yang pasti adalah perkebunan sawit tersebut tidak bekelanjutan karena melalui pembukaan hutan secara liar dan merusak, apakah luasan tersebut masih kurang lalu perlu ditambah kembali. Keputusan-keputusan berbau kepentigan semakin menyengat saat ini, kerusakan lingkungan alam, satwa liar hingga kemanusian jadi acaman tak terelakan. Ini semua jelas keliru sedari era jokowi proyeksi pertanian tak tentu arah, alih-alih sebagai super pawer pangan dunia justru sebaliknya menggancam masa depan dunia.
Apa yang diharapkan pada lahan yang justru mencekik kesempatan hidup tanaman tersebut terutama komuditas pangan, dengan membuka jutaan hektar lahan serta emisi tak terelakan hingga catatan fenomena iklim ekstrim yang semakin menjadi. Proyeksi semacam swasembada hanyalah tahayul, Quick win ini justru hanya mempercepat pertumbuhan lahan dan kemasyhuran korporat kedepannya. Tidak ada jaminan kegagalan itu selain memasuki komuditas perkebunan, ya semua itu sangat jelas.
Tidak salah memang jika itu berkait pembangunan kembali namun dalam prakteknya pertanian harus tumbuh secara bijak dan santun dalam menjaga keseimbangan dan keberlanjutan lingkungan hidup.
PENULIS: Charles Alfredo, Kader GMNI Kota Samarinda
Opini Merupakan Tanggung Jawab Penulis, Tidak Menjadi Tanggung Jawab Redaksi VIDETIMES.COM