SAMARINDA, VIDETIMES.com – Ruang digital di Kota Tepian tengah diwarnai kemunculan akun-akun anonim yang aktif membela kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda. Namun, keberadaan akun-akun ini memicu kekhawatiran karena tak hanya memberi dukungan, tetapi juga dituding menyerang para pengkritik pemkot hingga melakukan tindakan penyebaran data pribadi atau doxing.
Anggota Komisi I DPRD Samarinda, Adnan Faridhan, menyoroti fenomena ini dan menyebut keberadaan para buzzer sebagai ancaman nyata terhadap kebebasan berekspresi. Ia mengibaratkan para buzzer sebagai “hantu digital” yang bisa muncul kapan saja dan menyerang siapa saja yang bersuara kritis.
“Buzzer itu semacam hantu ya. Kita tidak tahu wujudnya siapa, tapi dia bisa muncul di mana saja. Begitu ada kritik ke pemkot, langsung diserang balik pakai meme atau narasi yang menjatuhkan. Saya sendiri juga pernah kena,” ungkap Adnan.
Ia menilai pola serangan tersebut bukan bersifat acak, melainkan sistematis dan terstruktur. Sejumlah tokoh publik, seperti jurnalis King Tae, Awan dari Selasar.co, hingga sesama anggota dewan seperti Anhar, disebut menjadi sasaran serangan akun-akun anonim tersebut.
“Ini bukan kerja acak. Ada pola. Narasi tandingan dibangun secara cepat dan terkoordinasi untuk membungkam kritik,” tegas politisi dari Partai Golkar ini.
Yang lebih mengkhawatirkan, kata Adnan, adalah munculnya tindakan doxing oleh beberapa akun. Ia menyebut adanya laporan kebocoran data pribadi seperti KTP dan alamat rumah, yang dialami oleh pihak-pihak yang bersuara kritis terhadap kebijakan pemerintah.
“Kalau cuma diserang karena saya liburan ke luar negeri, saya enggak ambil pusing. Saya jalan-jalan pakai uang pribadi. Tapi kalau sudah menyebar KTP orang? Itu pelanggaran serius. Itu doxing, bisa dipidana,” ujarnya.
Adnan menegaskan bahwa praktik doxing melanggar hukum dan dapat dijerat melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ia menolak alasan bahwa pelaku tidak dapat dilacak.
“UU ITE sudah jelas mengatur penyebaran data pribadi. Kalau pihak berwajib bilang pelaku tidak bisa dilacak, saya rasa itu tidak masuk akal. Di Jakarta saja buzzer yang menyerang institusi negara bisa ditangkap, bahkan diketahui dibayar ratusan juta,” tegasnya.
Ia mendesak Pemkot Samarinda agar tidak tinggal diam. Menurutnya, bantahan bahwa pemkot tidak mengelola atau membiayai buzzer belum cukup untuk meredam keresahan publik.
“Kalau memang pemkot tidak terlibat, tunjukkan sikap. Jangan hanya diam, karena diam bisa ditafsirkan sebagai pembiaran,” kata Adnan.
Lebih lanjut, ia menilai sulit membayangkan adanya gerakan yang begitu terorganisir tanpa pihak yang berkepentingan di baliknya.
“Kalau ada gerakan yang begitu sistematis tanpa kepentingan, ya itu omong kosong. Pertanyaannya: siapa yang gerakkan? Untuk apa? Ini harus dibuka terang-terangan,” pungkasnya.
Adnan menekankan pentingnya menjaga ruang digital yang sehat, terbuka, dan demokratis. Ia berharap semua pihak, termasuk aparat penegak hukum, bersikap tegas dan independen demi menjaga kebebasan berekspresi di era digital.
“Ini soal menjaga demokrasi, menjaga ruang publik yang sehat. Jangan sampai masyarakat takut bicara karena ada ancaman digital,” tutupnya. (Adv/DPRD Samarinda)